Pill and Potion: an Introduction

t. alya
2 min readFeb 28, 2021

--

#pilot

this is the list of particular things that hold my life altogether
the culprit!

26/02/21;

“Dok, saya susah tidur,”

“Dok, saya capek nangis,”

“Dok, saya mau istirahat tenang.”

7 tahun sudah gadis ini merapalkan kalimat yang sama kepada setiap psikiater yang ia temui.

Lalu respon yang diberikan pun akan berbunyi,

“Obatnya jangan lupa diminum, ya,”

atau bahkan

“Dosisnya kami naiki, ya.”

Berulang-ulang seperti itu dari tahun ke tahun.

Alya muda mungkin naif, masih mau menuruti perkataan tersebut, berharap bahwa di kemudian hari ia akan sepenuhnya pulih.

Namun sayang, semua ini hanya jebakan yang berjudul “Semoga Lekas Pulih” dengan efek penenang berdosis tinggi di dalamnya.

Hi, Alya is here!

Gak kerasa udah tahun ketujuh gue bergantung hidup sama bercarik-carik daftar yang isinya hanya deretan nama khusus stimulan hidup tenang.

Semenjak awal kehidupan baru gue dimulai, gue selalu merasa bahwa diri gue yang “sakit” ini kurang pantes untuk berlagak layaknya manusia normal di depan umum. Maka selama tujuh tahun itu pula lah, gue bertahan di bawah bayang-bayang antara hidup untuk bernapas atau bernapas untuk hidup.

Bagi gue, setiap lembaran hari baru rasanya cuman kaya rintangan Benteng Takeshi yang harus dilewatin dengan metode dan ritme gitu-gitu aja. Mudah tapi gak jamin bisa selamat. Bangun dengan kepala berdengung, kemudian menenggak butiran-butiran penyelamat hidup, lalu berkutik dengan ricuhnya sautan di kepala sendiri, dan begitu seterusnya hingga tubuh kehabisan motivasi untuk melanjutkan hari. Jadi cukup pantes menurut gue kalau kalimat “hidup emang nggak adil” selalu dirapalin sepenuh hati siang dan malem.

Sayangnya problematika bertahan hidup versi gue nggak cuman berkutat dengan konsleting saraf di kepala sendiri, gue juga dituntut untuk menghindari sekaligus menghadapi stigma masyarakat tentang penyakit yang gue alami. Gue harus mampu beradu akting sedemikian rupa agar raut wajah tidak sekusut cucian kemarin pagi dan menelan bulat-bulat julukan “ si anak gila” dari beberapa orang di lingkungan gue.

Namun seiring dengan meningkatnya kemampuan gue dalam menelan pil-pil penenang, gue yang sekarang pun akhirnya terbiasa untuk menelan paitnya deretan kenyataan hidup.

Pada akhirnya gue pun menyatakan menyerah dengan keadaan dan bertahan dengan cobaan.

Sekian.

p.s: semoga lekas pulih!
[P.S: Semoga Lekas Pulih!]

--

--

t. alya

Welcome to a spesh page of twenty-one-year old Alya, who love to write about unconscious notions beyond her head while currently meddling her academic business.